..::SELAMAT DATANG DI RIDWAN SYAIDI TARIGAN & PARTNERS::.. ADVOKAT | PENGACARA | KONSULTAN HUKUM::......

KEPUASAN CLIENT

Sebuah kepuasan client yang menggunakan Jasa kami merupakan modal utama law firm RIDWAN SYAIDI TARIGAN dan PARTNERS, sehingga kami akan bekerja dan client akan tersenyum

MEMBERIKAN SOLUSI

Didalam sebuah permasalahan yang dihadapi oleh client kami memberikan solusi

PELAYANAN YANG RAMAH

Law Firm RIDWAN SYAIDI TARIGAN dan PARTNERS, memiliki para staff yang ramah dan siap melayani.

PARTNERS YANG PROFESIONAL

Law Firm RIDWAN SYAIDI TARIGAN dan PARTNERS, memiliki partners yang profesional dan ahli dalam beberapa bidang hukum

PERSAUDARAAN PEKERJA MUSLIM INDONESIA

Ridwan Syaidi Tarigan, seorang advokat yang juga diberikan kepercayaan dan amanah menjadi Ketua PPMI Cabang Jakarta Barat

Kriminalisasi Pasang Calon merupakan Tindakan pelanggaran konstitusi demokrasi

Dalam konstitusi kita mengenal 2 hal, yaitu hukum konstitusi dan konstitusi etika. Dalam pelaksanaan pemilukada tindak pidana pemilu bukan merupakan hal yang harus dikedepankan.  Tindak pidana itu merupakan perwujudan terakhir apabila telah dilakukan edukasi dan arahan beretika dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah.

Terkait pasal 71 ayat 3 yang di khususkan untuk incumben yang akan kembali maju, ada sebuah aturan dan larangan dalam penyalahgunaan kewenangan dan program baik 6 bulan sebelum ditetapkan pasangan calon hingga penetapan pasangan calon terpilih.

Dalam aturan ini konstitusi mengedepankan proses pembuktian administrasi terlebih dahulu sebagaimana pasal 71 ayat 5 UU No.10 Tahun 2016. Dimana pasangan calon tersebut dapat didiskualifikasi apabila ada tindakan incumben melakukan penyalahgunaan kewenangan yang dapat menguntungkan maupun yang merugikan Paslon lainnya.

Bawaslu memiliki hak kewenangan untuk melakukan pemeriksaan tersebut dan bila terbukti mendiskualifikasi. Inilah konstitusi etika yang harus dikedepankan untuk menjaga kondusifitas dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah.

Bawaslu tidak dapat serta merta suatu perkara terhadap pasangan calon lebih mengedepankan konstitusi hukum. Terlebih lagi Pasal 188 UU nomor 1 Tahun 2015 yang ancaman hukuman 1 hingga 6 bulan merupakan suatu tindak pidana pemilu yang dapat dilakukan restorasi Justice. 

Dalam Surat Telegam (ST) dengan nomor: ST/1160/V/RES.1.24.2023 tentang penundaan proses hukum terkait pengungkapan kasus tindak pidana yang melibatkan peserta Pemilu 2024. Hal tersebut merupakan kebijakan kapolri dalam rangka menjaga kondusivitas untuk kegiatan pemilihan kepala daerah agar tidak ada hal yang dapat mempengaruhi penyalahgunaan kewenangan dan anggapan bahwa telah terjadinya diskriminasi yang merugikan salah satu pasangan calon.

Gakumdu dapat melaksanakan tugasnya terkait tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh ASN, Pejabat Negara, Polri, Kejaksaan, kepala desa. Bila kita kaji contoh perkara ada pasangan Calon Pemilihan Kepala Daerah yang ditersangkakan yaitu Pasangan Calon Nomor 2 untuk pilkada walikota Metro Provinsi Lampung. Hal mana diketahui sebelum ditetapkan calon seorang wakil walikota yang merupakan bakal calon pada saat itu hadir memenuhi undangan dalam sosialisasi program pemerintah pusat.

Menghadiri undangan bukan dengan kegiatan kampanye, walau dalam sambutan akhirnya meminta restu untuk dapat kembali diberikan kepercayaan untuk dapat memimpin di kota metro. Oleh Bawaslu kota metro dilakukan klarifikasi dan dikarenakan tidak terpenuhinya unsur melakukan diskualifikasi pasangan calon lalu dilakukan ke ranah tindak Pidana Pemilu yang tidak mengedepankan kan prinsip kehati hatian dan tidak menjalankan surat telegram dari Kalpori.



Syarat Selisih Sebagai Legal Standing Bertentangan Dengan Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 60/PUU-XXII/2024 yang sudah memberikan jalan kemudahan bagi para partai politik dengan menurunkan ambang batas parlemen treshort dalam pengajuan pasangan calon, maka seharusnya Mahkamah juga bisa menghilangkan legal standing syarat pengajuan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah maka Pasal 158 UU No.10 Tahun 2016 sudah tidak relevan lagi dan harus dihapuskan karena sudah tidak sesuai lagi dan merugikan hak konstitusional para peserta Pemilukada untuk mencari keadilan hak konstitusional nya.

Hal ini juga bisa dikaitkan dengan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Pemungut suara Ulang saat pileg kemarin karena ada partai dalam pengisingan bakal calon anggota legislatif syara pemenuhan 30% perempuan tidak dijalankan.

Dan juga karena ada pasangan calon yang sudah ingkrah menjadi calon tapi tidak diikut sertakan dalam pemilihan kepala daerah maka dilakukan pemungutan suara ulang. 

Bila dalam Putusan MK No. 85/PUU-XX/2022  yang menyatakan berwenang mengadili perkara sengketa hasil Pilkada yang mana tidak termuat dalam UUD 1945 maka sudah sepantasnya MK tidak boleh lagi berlindung dalam pasal 158. MK harus menyelesaikan perkara hingga pemeriksaan pokok perkara. 

Jangan sampe ada kesan MK juga sebagai penjaga konstitusi tetapi ternyata melakukan begal konstitusi dalam pelaksanaan pemeriksaan sengketa yang ditangani. Terlebih dengan sikap arogansi yang seakan akan tidak fokus dalam pemeriksaan apabila dianggap kelelahan.

Manuver DPR terkait Putusan MK

Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menguji perundang-undangan dan DPR sebagai lembaga legislatif pembuat undang undang bersama Presiden.

Kedua fungsi ini memiliki peran dan fungsi yang harus saling kait mengkait,  suatu putusan Mahkamah Konstitusi bisa berlaku langsung apabila tidak ada penambahan frasa yang putusannya menyatakan pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum sehingga bisa langsung tereksekusi, lalu bagaimana bila Mahkamah Konstitusi menambahkan suatu frasa maka harus dilegitimasi oleh DPR dan Presiden dengan melakukan perubahan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi karena putusan Mahkamah bukan merupakan pengambil Alihan fungsi DPR dan sifat putusan Mahkamah Konstitusi adalah Final dan mengikat berdasarkan asas erga omnes

Tidak dipatuhinya putusan Mahkamah Konstitusi untuk ditindak lanjuti merupakan menjadi permasalahan hukum dimana Putusan MK dapat dikesampingkan dengan ada kepentingan dengan menggunakan hak konstitusional DPR dalam membuat suatu perundang-undangan.(open legal policy)

Hal ini juga pernah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi yang mana merubah suatu putusan Pendirian MK sendiri. Sehingga ini juga menjadi dasar pemikiran DPR untuk melakukan pembangkangan dengan dasar kepentingan politik DPR. 

Polemik ini menjadi sebuah catatan matinya suatu sistem demokrasi yang mana Putusan MK perihal syarat pengusungan calon pemimpinan Daerah telah dianggap baik sehingga bisa menimbulkan banyaknya calon yang ditawarkan ke masyarakat.

DPR tidak harus terburu buru melakukan perubahan Undang-undang sehingga pelaksanaan KPU bisa didasarkan UU no 10 Tahun 2016 Jo Putusan MK no.60 dan 70. 

Bila suatu lembaga Negara saling polemik dan memiliki kepentingan berbeda bagaimana dengan sistem demokrasi bisa berjalan dengan baik. Suatu pengambilan keputusan haruslah didasarkan kepentingan umum dan kebangsaan bukan berdasarkan kepentingan individu atau kelompok tapi kepentingan kebangsaan.

Dr. RIDWAN SYAIDI TARIGAN SH MH 

RSTP Pengacara
Negara yang kuat di bangun atas pondasi yang kokoh berdasarkan
"Tuhan Yang Maha Esa"

Kebenaran itu ada kalau tahu sumbernya, hukum bisa ditegakkan kalau tahu caranya, sumber dari segala kebenaran dan keadilan adalah
"Tuhan Yang Maha Esa"