PROBLEMATIKA HUKUM IMPLEMENTASI PUTUSAN MK NOMOR 49/PUU-IX/2011 (Polemik
Penghapusan UU 7
2020 Pasal 59 Ayat 2)
Advokat & Kurator Pada Kantor Hukum RIDWAN SYAIDI TARIGAN & PARTNERS
Abstrak
Menurut Shaw et.al.,
(2018) mahkamah konstitusi adalah salah satu kekuatan pendorong dibalik kebangkitan
studi perbandingan hukum tata negara dalam dua dekade terakhir. pembentukan
mahkamah konstitusi sebagai ciri utama reformasi konstitusi di negara-negara
demokrasi baru. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk putusan Nomor 49/Puu-IX/2011
tentang penghapusan pasal 59 ayat 2 undang-undang nomor 7 tahun 2020, dan untuk
mengetahui dampak Nomor 49/Puu-IX/2011
tentang penghapusan pasal 59 ayat 2 undang-undang nomor 7 tahun 2020. Metode
yang di gunakan adalah yurudis normatif karena membahas suatu putusan UU nomor
7 tahun 2020 tentang pasal 59 ayat 2 yang dihapus. Hasil penelitian
menunjukan 1) Putusan Nomor
49/Puu-IX/2011 yang melakukan penghapusan pada Naskah UU 7/2020 Pasal 59 ayat
(2). 2) Ketentuan dalam Pasal 59 Ayat (2) itu dihapus dalam UU MK hasil revisi
atau UU Nomor 7 Tahun 2020 yang disahkan DPR. Putusan ini memberikan dampak
polemik bagi masyarakat karena dianggap sebagai skenario DPR dan Presiden untuk
membatalkan putusan MK, sehingga DPR dan Presiden tidak lagi memiliki penilaian
atas penilaian MK. Masyarakat menganggap putusan ini yang di hubungkan UU cipta kerja dikarenakan
dengan dihapusnya pasal 59 ayat 2 maka dapat memungkinkan segala hal yang di
hapus pada uu cipta kerja akan sia sia karena masih dalam wewenang president
dan DPR.
Kata kunci: Mahkamah Konstitusi, Wewenang, Normatif,
Polemik
Abstract
According to Shaw et.al. (2018) the constitutional court is
one of the forces behind the revival of comparative studies of constitutional
law in the last two decades. The establishment of a constitutional court as the
main feature of constitutional reform in new democracies. The purpose of this
research is to find out the form of the decision Number 49/Puu-IX/2011
regarding the abolition of Article 59 paragraph 2 of Law Number 7 of 2020, and
to find out the impact of Number 49/Puu-IX/2011 concerning the abolition of
Article 59 paragraph 2 of the Law. - Law number 7 of 2020?. The method used is
normative juridical because it discusses a decision of Law number 7 of 2020
concerning article 59 paragraph 2 which is deleted. The results of the study
show 1) Decision Number 49/Puu-IX/2011 which deletes the Manuscript Law 7/2020
Article 59 paragraph (2). 2) The provisions in Article 59 Paragraph (2) were
deleted in the results of the revision of the Constitutional Court Law or Law
Number 7 of 2020 which was ratified by the DPR. This decision has a polemic
impact on the community because it is considered a scenario for the DPR and the
President to submit the Constitutional Court's decision, so that the DPR and
the President no longer have an assessment of the Constitutional Court. The
public considers that this decision is related to the work copyright law
because with the abolition of article 59th paragraph 2 it can allow
everything that is abolished in the work copyright law to be in vain because it
is still under the authority of the president and the DPR.
Keywords:
Constitutional Court, Authority, Normative, Polemic
1.
Pendahuluan
a.
Latarbelakang
Neil, (2020) menjelaskan konstitusi dapat diartikan sebagai
kumpulan aturan yang mengatur sistem pemerintahan dalam suatu negara. badan-badan dan institusi-institusi yang
mempunyai kekuasaan harus dijalankan.
Finer mendefinisikan konstitusi sebagai kode aturan yang bercita-cita untuk
mengatur alokasi fungsi, kekuasaan dan tugas di antara berbagai lembaga dan
pejabat pemerintah, dan menentukan hubungan antara mereka dan publik. Hamlyn,
(2001) menawarkan definisi bahwa Konstitusi adalah seperangkat aturan paling
penting yang mengatur hubungan antara berbagai bagian pemerintahan suatu negara
tertentu dan juga hubungan antara berbagai bagian pemerintah dan rakyat negara
tersebut.
Konstitusi ini adalah hukum tertinggi Republik;
hukum atau perilaku yang tidak sesuai dengannya adalah tidak sah, dan kewajiban
yang dibebankan padanya harus dipenuhi. Mahkamah Konstitusi adalah yang
merupakan pengadilan tertinggi di semua konstitusi. MK memiliki kompetensi
untuk memutuskan hal-hal seperti: perselisihan antara unsur unsur masalah
negara di lingkup nasional atau provinsi mengenai konstitusi. untuk menentukan
masalah konstitusional dapat dilakukan oleh Banding Mahkamah Agung, Pengadilan
Tinggi, atau pengadilan lain dengan status serupa. Menurut Mark, (2013)
Konstitusi mengatur kerangka pemerintahan Ini juga menetapkan beberapa ide
politik mendasar (kesetaraan, perwakilan, kebebasan individu) yang membatasi
seberapa jauh mayoritas sementara dapat berjalan. Ini adalah hukum kita yang
lebih tinggi.
Otoritas konstitusional di banyak negara sering
menggunakan praktik yang dikenal sebagai proporsional review (atau hanya
proporsionalitas) ketika menentukan makna dan penerapan ketentuan hak
konstitusional. Pejabat pemerintah bebas untuk membatasi pelaksanaan semua hak,
praktisi setuju, selama pembenaran untuk pembatasan itu cukup terkait dengan
pembenaran untuk membatasi hak. Menurut Shaw
et.al., (2018) mahkamah konstitusi adalah Salah satu kekuatan pendorong dibalik
kebangkitan studi perbandingan hukum tata negara dalam dua dekade terakhir.
pembentukan mahkamah konstitusi sebagai ciri utama reformasi konstitusi di
negara-negara demokrasi baru.
Di era reformasi, Indonesia telah mengambil langkah-langkah
reformasi yang komprehensif dengan mengembalikan kedaulatan ketangan rakyat.
Puncak dari upaya tersebut adalah amandemen UUD 1945 yang dilakukan dalam waktu
empat tahun berturut-turut, yaitu Amandemen Pertama 1999, Amandemen Kedua pada
tahun 2000, Amandemen Ketiga pada tahun 2001, dan Amandemen Keempat pada tahun
2002 MPR. Tujuan dari Amandemen adalah untuk melengkapi aturan dasar dari hidup
sebagai negara, yang menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu.
Menururt Eddiyono, (2018) Mahkamah Konstitusi Indonesia memiliki empat
kewenangan dan satu kewajiban sesuai dengan diamanatkan oleh Pasal 24C (1) dan
(2) UUD 1945. Empat otoritas Mahkamah Konstitusi Indonesia sedang memeriksa
pada tingkat pertama dan terakhir. Putusan MK bersifat final untuk pengujian
undang-undang terhadap UUD; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Konstitusi; memutuskan pembubaran partai politik;
dan memutuskan perselisihan atas hasil pemilihan umum. Sedangkan kewajiban Mahkamah
Konstitusi Indonesia akan memberikan putusan berdasarkan Undang-Undang Dasar
atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tentang anggapan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Mahkamah
Konstitusi Indonesia adalah Mahkamah Konstitusi ke-78 di dunia dan yang pertama
didirikan pada abad kedua puluh satu. Dalam kajian Mahkamah Konstitusi
Indonesia hingga saat ini, banyak pakar yang mengakui kepemimpinan yang heroik
(Stefanus, 2018). Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, tidak ada fitur formal
yang memungkinkan cabang-cabang politik untuk memeriksa keputusan Yudisial dan
mengesampingkan keputusan Mahkamah dengan suara mayoritas biasa atau
sebaliknya. Oleh karena itu, Mahkamah masih memiliki kewenangan eksklusif untuk
melakukan pengujian konstitusional. Menurut
Jimly Asshiddiqie, berdasarkan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi Indonesia
adalah penjaga konstitusi tentang empat hal tersebut di atas kewenangan dan
satu kewajiban. Hal ini juga membawa konsekuensi bagi Mahkamah Konstitusi Indonesia
sebagai penafsir tunggal konstitusi. Konstitusi sebagai hukum tertinggi
mengatur penyelenggaraan negara berdasarkan asas demokrasi dan salah satu
fungsi konstitusi adalah melindungi hak asasi manusia hak-hak yang dijamin
dalam konstitusi. Berdasarkan gagasan ini, hak asasi manusia menjadi hak
konstitusional warga negara. Oleh karena itu, MK juga telah berfungsi sebagai
penjaga demokrasi, yaitu pelindung hak konstitusional warga negara, dan
pelindung kemanusiaan.
Mahkamah Konstitusi dibentuk berdasarkan
undang-undang pada bulan Agustus 2003 Segera setelah itu, masing-masing
Mahkamah Agung, parlemen nasional (Perwakilan Raykat, DPR) dan Presiden memilih
tiga hakim untuk bertugas di Pengadilan. Hakim-hakim ini kemudian diangkat
dengan keputusan presiden dan Pengadilan mulai menerima kasus. Padahal beban
perkara MK hampir secara eksklusif terdiri dari perkara uji konstitusional dan
sengketa pemilu. MK memiliki tiga fungsi lainnya, salah satunya adalah
'memutuskun' pembubaran partai politik (Simon, 2015). Fungsi lain Mahkamah
adalah menyelesaikan perselisihan Yurisdiksi antara Lembaga-lembaga negara yang
dibentuk oleh Konstitusi. Mahkamah Konstitusi Indonesia dipercayakan dengan
fungsi-fungsi tertentu. Namun, mereka tidak sepenuhnya memperhitungkan pembentukan
Mahkamah Konstitusi.
Dalam beberapa
kasus, Mahkamah konstitusi meminta pemerintah untuk menafsirkannya.
undang-undang dengan cara tertentu atau petunjuk yang ditentukan untuk membantu
pemerintah melaksanakan undang-undang. Kedua, Pengadilan mengeluarkan solusi
yang lemah dalam berbagai bentuk, seperti deklarasi yang ditangguhkan yang
menahan keputusan ketidakabsahan untuk jangka waktu tertentu di mana pemerintah
harus mengadopsi rencana baru untuk menggantikan undang-undang;
"perwujudan progresif," yang memungkinkan negara untuk mengambil
langkah-langkah tambahan untuk mencapai realisasi penuh dari hak-hak
konstitusional; dan "pengurangan prospektif," di mana keputusan
Pengadilan hanya akan berlaku untuk kasus-kasus di masa depan.
Putusan
MK pada dasarnya merupakan putusan deklaratif, dimana Mahkamah berwenang untuk
mengeluarkan penafsiran atas konstitusionalitas undang-undang tetapi, itu hanyalah
sebuah opini penasehat. Oleh karena itu, jenis upaya hukum yang dapat dilakukan
oleh Pengadilan hanyalah bantuan deklaratif. Efek dari keputusan Pengadilan
bertumpu pada otoritas moralnya dan kesediaan cabang-cabang politik lainnya
untuk mengikuti keputusan atau berupa putusan penghapusan (Stefanus, 2015). Namun pada awal tahun 2020
terjadi polemik pada salah satu puitusan MK yaitu pada putusan MK Nomor 49/Puu-IX/2011 tentang
penghapusan pasal 59 ayat 2 didalam UU 7 tahun 2020.
Penghapusan ayat ini menjadi kontroversi di
masyarakat usai penolakan terhadap UU Cipta Kerja. Sebab, narasi yang beredar
adalah putusan MK bisa tidak ditindaklanjuti DPR dan pemerintah. Berdasarkan uraian di atas, penulis bermaksud untuk mengkaji
dampak dari ditemukannya penghapusan pasal 59 ayat 2 undang-undang nomor 7
tahun 2020 terhadap sistem hukum. Alasan Mahkamah Konstitusi melakukan
penghapusan tersebut adalah demi terwujudnya keadilan substantif (keadilan yang
hakiki dan dirasakan oleh masyarakat sebagai keadilan yang nyata) adalah
masalah yang perlu dipelajari lebih lanjut mengetahui relevansi konsep keadilan
substantif dalam mewujudkannya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang
menegakkan dan mengawal konstitusi dalam Indonesia.
b.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis
dapat merumuskan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut :
1)
Bagaimana
bentuk putusan Nomor 49/Puu-IX/2011 tentang penghapusan pasal 59 ayat 2
undang-undang nomor 7 tahun 2020?
2)
Bagaimana
dampak Nomor 49/Puu-IX/2011 tentang penghapusan pasal 59 ayat 2 undang-undang
nomor 7 tahun 2020?
2.
Metode
a.
Design penelitian
Penelitian ini menggunakan model penelitian normatif. Penelitian
normatif adalah penelitian hukum doktrinal atau hukum teoritis riset. Hal ini
dikarenakan penelitian normatif ini berfokus pada penelitian tertulis yaitu
menggunakan data sekunder seperti menggunakan peraturan perundang-undangan,
putusan pengadilan, peraturan perundang-undangan teori dan dapat berupa karya
ilmiah ulama. Berbagai aspek diperiksa dalam jenis penelitian normatif ini (Fajar
dan Ahmad, 2010).
b.
Sumber Data
Secara umum jenis data
yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data
sekunder adalah data yang telah dikumpulkan oleh orang lain. Data primer adalah
data yang diperoleh langsung dari sumbernya. Seperti penelitian ini Metode yang
digunakan adalah yuridis normatif, data sekunder berupa dokumen hukum dan data
kasus-kasus yang lebih disukai untuk dijadikan penelitian. Riset hukum bahan
dalam penelitian ini meliputi bahan hukum sekunder. Data sekunder dalam
penelitian adalah bahan hukum yang diambil dari literatur kajian yang terdiri
dari bahan hukum primer, hukum sekunder dan non hukum bahan. Data sekunder
diperoleh dengan dokumentasi dan studi literatur yang berkaitan dengan
penegakan hukum pidana dan teori yang mendukungnya.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan data sekunder,
yaitu: terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. ‘
1.
Bahan
Hukum Primer adalah bahan hukum yang utama yang terdiri dari peraturan
perundang-undangan, catatan resmi, atau berita acara pembuatan undang-undang dan
peraturan. Berikut ini adalah hukum berikut bahan yang peneliti gunakan:
1. Putusan pada UU 7 tahun 2020
2. UU cipta kerja no 39 tahun 2020
3. Ketetapan MPR III/MPR/2000
4. Pasal 24C (1) dan (2) UUD 1945.
2.
Bahan
Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang membantu untuk menjelaskan bahan hukum
primer yang ada yang juga dapat membantu peneliti untuk melakukan lebih banyak
analisis dan memiliki lebih dalam pemahaman terhadapnya, bahan hukum sekunder
terdiri dari: jurnal, buku, laporan, dan sumber berbasis internet. Karena
penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dan setiap data yang
digunakan peneliti adalah data sekunder. Jadi akibatnya peneliti sangat
bergantung pada penggunaan metode penelitian kepustakaan. Perpustakaan metode
penelitian berarti peneliti mengumpulkan semua data dari peraturan, jurnal,
buku, website, kamus.
c.
Pengumpulan Data
Langkah-langkah untuk menganalisis data dilakukan dengan mengumpulkan
data dan dokumen yang berkaitan dengan Pengertian Hukum terkain Mahkamah
Konstitusi, sejarah berdirinya MK, fungsi MK, dan Kewenangan MK.
.
d.
Klasifikasi Data
Menurut Sugiyono, (2014) analisis data adalah
proses mencari dan menyusun secara sistematis transkrip dokumen yang terkumpul,
catatan lapangan, dan bahan lain yang Anda menumpuk untuk meningkatkan
pemahaman Anda sendiri tentang mereka dan untuk memungkinkan Anda
mempresentasikan apa yang telah Anda temukan kepada orang lain. Peneliti
menggunakan metode pengumpulan, kemudian mereduksi data, membuat kesimpulan dan
merepresentasikan data.
3.
Pembahasan
A.
Putusan Nomor 49/Puu-IX/2011 tentang
penghapusan pasal 59 ayat 2 undang-undang nomor 7 tahun 2020
a.
Putusan Nomor
49/Puu-IX/2011
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 Tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi
Menimbang
a. bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan
Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa dan negara yang tertib,
bersih, makmur, dan berkeadilan;
b. bahwa
beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah beberapa kali diubah yaitu dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi dan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Penetapan Peraturan www.peraturan.go.id 2020, No.216 -2- Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang sudah tidak
sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan
sehingga perlu diubah;
c. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf
c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas UndangUndang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
Menetapkan : Undang-Undang Tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Ketentuan ayat (2) Pasal 59 dihapus
sehingga Pasal 59 berbunyi sebagai berikut: Pasal 59
(1) Putusan Mahkamah Konstitusi
mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden,
dan Mahkamah Agung.
(2) Dihapus.
Naskah UU 7/2020 Pasal 59 ayat (2) itu mulanya
berbunyi: Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah
diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1). dengan dihapusnya Pasal 59 ayat (2)
itu, kalaupun menang judicial review di MK, tidak ada
kewajiban dari DPR dan Pemerintah untuk menindaklanjuti putusan itu. Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2003-2008,
Jimly Asshiddiqie, juga menegaskan bahwa putusan lembaga yang melakukan uji
materi tersebut sah dan mengikat karena sudah dibacakan dan tidak memerlukan
eksekusi. Melalui pesan singkat di Jakarta, Selasa (13/10), menurutnya, Pasal
59 ayat (2) UU MK sering disalahpahami.
.
b.
Latarbelakang
Putusan
Menurut Abadi, (2014) memaparkan bahwa putusan
MK bersifat final karena alasan-alasan berikut: Pertama, sifat hukum tata
negara sebagai hukum tertinggi; Kedua, menjaga wibawa peradilan konstitusi; dan
Ketiga, tidak ada alternatif yang lebih baik.' Argumentasi ini dapat
digolongkan sebagai perspektif formal yang melokalisasi status putusan MK hanya
sebagai putusan itu sendiri, dan mengabaikan faktor lain yang sangat penting
yaitu hubungan antara MK dengan pembuat undang-undang (legislator), yaitu DPR.
dari Perwakilan dan Presiden. Menurut Mahkamah Konstitusi pasal 59 ayat 2 UU 7
tahun 2020 bertolak belakang dengan dasar atau prinsip bahwa putusan MK
bersifat final dan mengikat. Pasal itu sudah dihapus sejak 9 tahun yang lalu
maka memang sudah sepantasnya di hapus, karena tidak sesuai dasar hukum. Pasal
59 ayat 2 tidak serta merta dihapus melainkan perintah langsung dari mahkamah
konstitusi.
Berdasarkan Pasal 24C ayat [1] UUD 1945 mahkamah konstitusi adalah
satu satunya lembaga yang berwenang melakukan pengujian UU setealh MA. Sehingga
denga berbagai pertimbangan dan perbandingan maka penghapusan pasal 59 ayat 2
bisa dilakukan sesuai pertimbangan dan perbandingan MK. Sebagaimana dijelaskan dalam
buku proyek keadilan konstitusi bahwa suatu peraturan perundang-undangan hanya
dapat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan peraturan perundang-undangan
yang setingkat lebih tinggi. Pencabutan peraturan perundang-undangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dilakukan apabila peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi menampung seluruh atau sebagian materi peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. jika materi dalam peraturan
perundang-undangan yang baru menyebabkan perlunya mengganti seluruh atau
sebagian materi dalam peraturan perundang-undangan yang lama, maka peraturan
perundang-undangan yang baru harus secara tegas diatur mengenai
peraturan-peraturan yang bersifat membatasi atau pembatasan-pembatasan terhadap
peraturan perundang-undangan. untuk kepastian hukum.
Hal ini dikuatkan oleh pendapat
Strauss, (2010) Mahkamah Konstitusi adalah badan tertinggi kekuasaan kehakiman
untuk perlindungan konstitusionalitas, legalitas, hak asasi manusia dan
kebebasan fundamental. (2) Dalam kaitannya dengan kewenangan negara lainnya,
Mahkamah Konstitusi bersifat otonom dan kekuasaan negara yang merdeka. Maka Keputusan Mahkamah konstitusi
adalah keputusan tertinggi yang terikat dan tidak bisa dihapus ataupun dicabut
oleh pihak lain kecuali Mahkamah Konstitusi sendiri sehingga undang-undang
menjadi rancu maknanya ketika pasal 59 ayat 2 di dalam undang-undang nomor 7
tahun 2020 masih tetap dilampirkan karena menurut Karl, (2001) keputusan suatu
hukum apabila memiliki makna yang berubah-ubah maka hukum tersebut menjadi
invalid dan perlu direvisi.
Mengenai sistem judicial review, Indonesia memiliki
dua mekanisme terpisah. Pertama mekanismenya adalah bahwa Mahkamah Konstitusi
dapat hanya meninjau konstitusionalitas undang-undang yang diundangkan oleh
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mekanisme kedua adalah bahwa hanya
Yang Tertinggi Pengadilan dapat menguji keabsahan peraturan di bawah tingkat
undang-undang, termasuk Pemerintah Peraturan, Peraturan Presiden, Provinsi Perda
dan Perda Kabupaten/Kota. Dualisme ini telah menciptakan setidaknya tiga masalah
hukum dalam uji konstitusional sistem di Indonesia. Pertama, jika MK hanya bisa
meninjau konstitusionalitas undang-undang, sedangkan Mahkamah Agung dapat
meninjau peraturan terhadap undang-undang, tidak bertentangan dengan
Konstitusi, tidak ada mekanisme hukum yang disediakan untuk meninjau peraturan
atau keputusan yang bertentangan dengan Konstitusi. Dengan kata lain, tidak ada
mekanisme yang tersedia untuk meninjau konstitusionalitas peraturan dan
keputusan di bawah tingkat hukum
B.
Dampak Nomor 49/Puu-IX/2011 tentang penghapusan
pasal 59 ayat 2 undang-undang nomor 7 tahun 2020
Ketentuan dalam Pasal 59 Ayat (2) itu dihapus dalam UU MK
hasil revisi atau UU Nomor 7 Tahun 2020 yang disahkan DPR pada Selasa
(1/9/2020). Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia Said
Salahudin menilai pencabutan Pasal 59 ayat (2) UU MK menjadi salah satu alasan
sebagian masyarakat ragu mengambil langkah uji materi UU Ciptaker. Penghapusan
pasal tersebut oleh sebagian kalangan dianggap sebagai skenario DPR dan
Presiden untuk membatalkan putusan MK, sehingga DPR dan Presiden tidak lagi
memiliki penilaian atas penilaian MK.
Dengan demikian, anggapan yang dibangun di masyarakat bahwa
UU Cipta Kerja dibatalkan, baik sebagian maupun seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi,
maka akan sia-sia karena UU tersebut masih bisa ditegakkan oleh DPR dan
Presiden. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari,
mengatakan penghapusan Pasal 59 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020
tentang Mahkamah Konstitusi tidak mempengaruhi sifat putusan MK yang final dan
mengikat. Taufik mengatakan Pasal 59 Ayat (2) dihapus karena memuji putusan MK
Nomor 49/PUU-IX/2011. Berdasarkan putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011, Prof Saldi
Isra, Prof Arief Hidayat sebelum menjadi hakim MK, Zainal Arifin Mochtar, Feri
Amsari, dan I (Taufik Basari)-nya pengacara bersama Febri Diansyah, Veri Juandi
dan Donald Fariz.
Terkait kekhawatiran masyrakat terhadap putusan ini yang di hubungkan uu cipta kerja dikarenakan
dengan dihapusnya pasal 59 ayat 2 maka dapat memungkinkan segala hal yang di
hapus pada uu cipta kerja akan sia sia karena masih dalam wewenang president
dan DPR. Uu cipta kerja memilik pasal-pasal yang merugikan pekerja”, antara lain tentang upah
rendah, pekerja kontrak, outsourcing, dan pesangon.
Keadaan dalam UU Cipta Kerja memuat Pasal 88C ayat (1) yang
menyatakan wajib membentuk provinsi dan Pasal 88C ayat (2) yang menyebutkan
gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan persyaratan
tertentu. Menurutnya, frasa “bisa” dalam pasal tersebut sangat merugikan karena
menetapkan penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) bukan suatu kewajiban. Putusan
yang banyak menarik kontroversi karena dirasa tidak mencerminkan keadilan dan
terkesan terpaksa di buat, sehingga terdapat beberapa undang-undang yang diuji
atau dilakukan peninjauan ulang. Menurut Strauss, (2010) Konstitusi dirancang dengan dasar hukum tidak
realistis untuk mengharapkan proses amandemen yang rumit untuk mengikuti
perubahan ini. Jadi tampaknya tak terelakkan bahwa Konstitusi akan berubah
juga. Masyarakat adalah objek utama dalam pembuatan putusan maka sudah
sewajarnya masyarakat memberikan respon baik positif maupun negatif. Respon
tidak semestinya menjadi penghalang, peninggalan yang akan menghalangi kita membuat
kemajuan dan mencegah masyarakat kita bekerja sebagaimana mestinya.
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari
menilai masyarakat tidak perlu khawatir dengan penghapusan Pasal 59 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi melalui
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi atau revisi UU MK.
Jika putusan MK menghapuskan, DPR dan Pemerintah juga perlu membuat
undang-undang karena mereka tidak dapat mengambil keputusan dari MK karena
dapat membuat undang-undang atau membuat undang-undang. Meskipun mekanisme
konstitusional review akhirnya terbentuk setelah pembentukan Mahkamah
Konstitusi pada tahun 2003, diskusi dan perdebatan tentang perlunya sistem
konstitusional review telah terjadi dalam proses penyusunan UUD Indonesia
pertama, sebelum kemerdekaan tahun 1945. Dalam rapat dari Komite Investigasi
untuk Persiapan Bekerja untuk Kemerdekaan Indonesia (Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI) pada bulan Juli 1945,
salah satu perancang konstitusi, Muhammad Yamin, mengusulkan agar Mahkamah
Agung (Balai Agung) harus memiliki kekuatan untuk meninjau undang-undang tidak
hanya bertentangan dengan konstitusi tetapi juga hukum adat dan hukum Islam.
Yamin menggunakan istilah 'membanding' (membanding), yang mengacu pada istilah
dari 'meninjau' (menguji) (Safroedin, 1995).
Peradilan Tata Usaha Negara mengizinkan orang yang dirugikan
atau dirugikan oleh tindakan pemerintah untuk menantang di depan pengadilan.
Gugatan itu objek yang diajukan ke Peradilan Tata Usaha Negara adalah perbuatan
pemerintah dalam bentuk sebenarnya. Kemudian, perlu untuk melihat perbedaannya antara
pengaduan konstitusional dan peninjauan kembali sebagai pendahuluan diskusi.
Karena kedua mekanisme ini sangat mirip dan sering disamakan dalam praktek.
Di sisi lain, hal itu tidak begitu akrab di Indonesia masyarakat
tentang pengaduan konstitusional. Akibatnya, banyak warga yang ingin membela
hak konstitusionalnya tidak menanggapinya melalui mekanisme hukum. Pengaduan
konstitusional sering dikaitkan dengan hak konstitusional sebagai kausal hubungan
di bawah doktrin konstitusional. Hak konstitusional adalah hak-hak yang dijamin
oleh konstitusi. Sementara itu, suatu Pengaduan adalah gugatan yang diajukan
oleh seseorang atau warga negara ke pengadilan terhadap kelalaian suatu
tindakan pemerintah yang dilakukan oleh suatu lembaga atau masyarakat otoritas,
yang melanggar hak-hak dasar yang bersangkutan. Tampaknya bahwa pengaduan
konstitusional lebih cenderung mengarah pada pengaduan tentang pelanggaran hak
konstitusional warga negara. Oleh karena itu, konstitusi aduan berbeda dengan
adanya judicial review, yang memiliki menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
MPR mengeluarkan Ketetapan III/MPR/2000 memberikan kewenangan
kepada MPR untuk meninjau konstitusionalitas undang-undang. Doktrin supremasi
parlemen menjadi landasan utama dalam membangun mekanisme ini. Namun, itu tidak
dapat dikategorikan sebagai mekanisme judicial review karena kekuasaan akan
dilaksanakan oleh legislatif, bukan yudikatif. Jadi, ini mekanisme yang paling
baik dikategorikan sebagai tinjauan legislatif, bukan tinjauan yudisial. Namun,
MPR tidak pernah menggunakan kekuatannya karena sistem tidak jelas. Oleh karena
itu, anggota MPR mengusulkan pembentukan lembaga peradilan yang disebut
Mahkamah Konstitusi (Francisko, 2006).
Pada awalnya perlu digariskan ruang lingkup suatu konstitusi keluhan.
Ruang lingkupnya adalah pembagi dan pembeda antara berbagai pemahaman tentang
pengaduan konstitusional. Diskusi ini dimaksudkan untuk menghindari
kesalahpahaman dan kesalahan di kemudian hari. Dalam konstitusi konsep
pengaduan, setiap tindakan pemerintah yang salah, yang berpotensi melanggar hak
konstitusional dapat dilaporkan ke pengadilan. Konstitusional pengaduan
menekankan tindakan pemerintah sebagai subjek, bukan undang-undang atau
peraturan pemerintah. Subyek ini adalah pejabat pemerintah, baik individu
maupun lembaga negara, untuk menjalankan tanggung jawab mereka dan fungsi (Wico,
2021).
C.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan
di atas, maka dapat disimpulakan:
1.
Putusan
Nomor 49/Puu-IX/2011 Menetapkan : Undang-Undang Tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi. Ketentuan ayat (2) Pasal 59 dihapus, sehingga Pasal 59 berbunyi
sebagai berikut: Pasal 59 (1) Putusan
Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung. (2) Dihapus. Naskah UU 7/2020 Pasal 59 ayat (2) itu mulanya
berbunyi: Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah
diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Maka Keputusan Mahkamah konstitusi adalah keputusan
tertinggi yang terikat dan tidak bisa dihapus ataupun dicabut oleh pihak lain
kecuali Mahkamah Konstitusi sendiri sehingga undang-undang menjadi rancu
maknanya ketika pasal 59 ayat 2 di dalam undang-undang nomor 7 tahun 2020 masih
tetap dilampirkan.
2.
Ketentuan
dalam Pasal 59 Ayat (2) itu dihapus dalam UU MK hasil revisi atau UU Nomor 7
Tahun 2020 yang disahkan DPR. Penghapusan pasal tersebut berdampak polemik
sebagian kalangan dianggap sebagai skenario DPR dan Presiden untuk membatalkan
putusan MK, sehingga DPR dan Presiden tidak lagi memiliki penilaian atas
penilaian MK. masyrakat terhadap putusan ini yang di hubungkan uu cipta kerja dikarenakan
dengan dihapusnya pasal 59 ayat 2 maka dapat memungkinkan segala hal yang di hapus
pada uu cipta kerja akan sia sia karena masih dalam wewenang president dan DPR.
Uu cipta kerja memilik pasal-pasal yang merugikan pekerja”, antara lain tentang upah
rendah, pekerja kontrak, outsourcing, dan pesangon. Dengan demikian, anggapan
yang dibangun di masyarakat bahwa UU Cipta Kerja dibatalkan, baik sebagian
maupun seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi, maka akan sia-sia karena UU
tersebut masih bisa ditegakkan oleh DPR dan Presiden. Anggota Komisi III DPR
dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, mengatakan penghapusan Pasal 59 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi tidak mempengaruhi
sifat putusan MK yang final dan mengikat. Taufik mengatakan Pasal 59 Ayat (2)
dihapus karena memuji putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011
D.
Daftar Pustaka
Buku.
David A. Strauss. (2010).The Living Constitution.
New York: Oxford University Press
Karl Polanyi.(2001). The C^reat Transformation The
Political and Economic Origins of Our Time. Boston: Beacon Press Boston
Mark A. Grab Er. (2013). A new introduction to a
amerivan constituition. New york: oxford university press
Mukti Fajar and Yulianto Achmad. (2010) Dualisme
Penelitian Hukum Empiris & Normatif, Pustaka Pelajar
Neil Parpwoerth.(2020).Constitutional and
administrative law, 11th edition.United Kingdom: Oxfrod University Press
Simon Butt. (2015). The constitutional court and
democracy in indonesia.Boston: brill nijhoff
Stefanus hendrianti.(2018). Law and Politics of
Constitutional Courts Indonesia And the Search Fro Judicaial Heroes. New
York:Routledge
Stephen K. Shaw, William D. Pederson, and Frank J.
Williams. (2004). Franklin D. Roosevelt and the tranformation of the supreme
court Vol. 3. London: Routledge tylor and francis group.
Sugiyono. 2014. Memahami Penelitian Kualitatif.
Bandung: Alfabeta.
The Department of Justice and Constitutional
Development (DOJ&CD). (2016).Constitutional Justice Project. The Department
of Justice and Constitutional Development.London: Human Sciences Research
Council
Jurnal
Francisco R. Romeu,(2006).The Establishment of
Constitutional Courts: A Study of 128 Democratic Constitutions”, Review of Law
& Economic, Vol. 2 No. 6, August 2006, Berlin: De Gruyter, pages 103-135.
Heribertus Jaka Triyana. (2015).The Role of the
Indonesian Constitutional Court for An Effective Economic, Social and Cultural
Rights Adjudication. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Constitutional Review, May 2015, Volume 1, Number 1
John Ferejohn.()2002) Constitutional Courts as
Deliberative Institutions: Towards an Institutional Theory of Constitutional
Justice. New york university. Wojciech Sadurski (ed.), Constitutional Justice,
East and West, 21-36 Kluwer Law International. Printed in Great Britain.
Luthfi Widagdo Eddyono. (2018). The Constitutional
Court and Consolidation of Democracy in Indonesia. Center
for Research and Case Study and Management Information and Communication
Technology of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia journal of
the Constitution, Volume 15, Number 1, March 2018
Saafroedin Bahar et al, (1995). Risalah Sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 26 Mei 1945 - 22 Agustus 1945, Jakarta:
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Standy
Wico.(2021). The Future of Constitutional Complaint in Indonesia: An
Examination of Its Legal Certainty. Indonesian Journal of Law and Society
(2021) 2:1 59-78 ISSN 2722-4074 | https://doi.org/10.19184/ijls.v2i1.21449
Published by the University of Jember, Indonesia
Stefanus Hendrianto.(2015). Convergence or Borrowing:
Standing in The Indonesian Constitutional Court. Santa Clara University School
Of Law, Santa Clara Jesuit Communtiy, 500 El Camino Real. Constitutional
Review, May 2015, Volume 1, Number 1