Hukum yang ada saat ini (hukum positif), yang menjelama lewat peraturan
perundang-undangan (baik itu Undang-undang, maupun bentuk lainnya) adalah
merupakan bangunan yang mati dan tidak bergerak sedikitpun tanpa adanya
interpretasi (penafsiran) dari orang yang menjalankannya (penegak hukum).
Mengapa, hal tersebut menjadi penting dalam tradisi berhukum di seleuruh
Negara. Bahwa pada dasarnya,
Sejak hukum membuat tradisi untuk ditulis (written law),
maka pembacaan terhadap teks hukum (penafsiran hukum) menjadi masalah yang
penting sekali. Sejak pembacaan teks menjadi penting, maka penafsiran terhadap
tekvs hukum tak dapat dihindarkan. Bahkan tidak berlebihan apabila dikatakan
bahwa penafsiran hukum itu merupakan jantung hukum. Hampir tidak mungkin hukum
bisa dijalankan tanpa membuka pintu penafsiran. Penafsiran hukum merupakan
aktifitas yang mutlak terbuka untuk dilakukan, sejak hukum berbentuk tertulis.
Maka dalam hal ini, interpretasi hukum sudah jelas adalah satu cara saja bagi
pembuat hukum untuk bertindak pragmatis (sesuai dengan fungsinya) seraya
diam-diam mengakui bahwa ia mengalami kesulitan untuk memberi penjelasan.
Dalam tradisi berhukum (khususnya di Indonesia)[1] Penafsiran atau
interpretasi hukum menjadi salah satu faktor yang sangat penting untuk
menjadikan hukum bersifat dinamis (bergerak menuju satu pembaharuan), bisa
mengikuti perkembangan zaman.[2]Terlepas dari semua itu,
Interpretasi terhadap hukum yang dilakukan oleh hakim sebagai salah
satu penegak hukum, harus dilandasi dengan pertimbangan dari asas-asas
penerapan hukum positif, yang dilakukan dalam rangka: Melaksanakan hukum
sebagai suatu fungsi pelayanan atau pengawasan terhadap kegiatan masyarakat;
kemudian mempertahankan hukum
akibat terjadi pelanggaran atas suatu aturan hukum seperti yang dilakukan oleh
badan peradilan (lembaga kehakiman). Dalam hal ini penafsiran hukum adalah
tugas dari badan peradilan yang pada hakekatnya merupakan tugas dan wewenang
seorang hakim untuk dapat memutus suatu perkara dengan
pertimbangan-pertimbangan yang ada.
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan dalam
mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula
sifat-sifat yang baik dan jahat dari tertuduh.[3] Semua masyarakat
yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergelokan
dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang
hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat
untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang
sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Sifat-sifat yang jahat maupun
yang baik dari tertuduh wajib diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan pidana
yang akan dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi seseorang perlu diperhitungkan
untuk memberikan pidana yang setimpal dan seadil-adilnya. Keadaan pribadi
tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari lingkungannya, rukun
tetangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya.[4]
Sejarah mencatat bahwa terdapat pertarungan sengit antara
para ahli hukum tentang apakah penafsiran atau interpretasi atas hukum itu
diperlukan ataukah tidak. Apakah hakim memiliki hak untuk menemukan atau
membuat hukum, termasuk di antaranya melakukan interpretasi hukum? Bukankah
menjadi tugas parlemen untuk membuat hukum, sedangkan pengadilan, hakim dan
penegak hukum lainnya hanya bertugas menerapkan hukum?.
Sejarah ilmu hukum telah mencatat tentang berbagai
polemik tersebut, terdapat dua aliran yang berkembang tentang sebatas mana
seorang hakim bisa menemukan hukum, yaitu penganut doktrin sens-clair[5] dan penganut
penemuan hukum harus selalu dilakukan. Di sini lah terjadi benturan
antara kepastian hukum dan kemerdekaan. Meskipun menerima
penafsiran, aliran pertama menghendaki agar lingkaran peraturan itu tidak
diterobos keluar. Metode-metode penafsiran yang dipakai, seperti penafsiran gramatikal,
historis, sistematis misalnya, tetap harus berlangsung dalam lingkaran
undang-undang. Aliran tersebut bahkan menerima konsekuensi disebut mengabadikan
ketidak-adilan manakala suatu peraturan dinilai tidak adil, maka demi kepastian
“kepastian dari ketidakadilan” atau kepastian yang tidak adilpun diterima
sebagai resiko atau ongkos yang harus dibayar. Di sisi lain, kemerdekaan tidak
bisa menerima peraturan yang dirasa tidak adil dan karena itu memilih melakukan
pembebasan dan keluar dari lingkaran peraturan yang ada. Inilah esensi dari
aliran Realisme hukum.
Selain kedua aliran tersebut, ada paham yang
menyatakan bahwa hakim tidak lain dari pada sebagai pengucap undang-undang atau
corongnya undang-undang belaka (La bouchequi prononce les paroles de loi)
telah ditinggalkan, atau tidak dianut lagi dan sudah lama ditinggalkan. Menurut van
Apeldoorn, hakim harus menyesuaikan (waarderen) undang-undang
dengan hal-hal yang konkrit yang terjadi di masyarakat dan hakim dapat menambah(aanvullen) undang-undang
apabila perlu. Hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal yang konkrit,
karena undang-undang tidak meliputi segala kejadian yang timbul dalam
masyarakat. Bukankah pembuat undang-undang hanya menetapkan suatu petunjuk
hidup yang umum saja? Pertimbangan mengenai hal-hal yang konkrit, yaitu
menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang konrit diserahkan kepada hakim.[6]
Keputusan hakim dapat memuat suatu hukum dalam suasana “werkelijkheid”
yang menyimpang dari hukum dalam suasana “positiviteit”. Hakim menambah
undang-undang karena pembuat undang-undang senantiasa tertinggal pada
kejadian-kejadian yang baru yang timbul di masyarakat. Undang-undang
itu merupakan suatu “momentopname” saja, yaitu suatu “momentopname”
dari keadaan di waktu pembuatannya. Berdasarkan dua kenyataan tadi, maka dapat
dikatakan bahwa hakim pun turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan
mana yang tidak atau dengan kata lain hakim menjalankan rechtsvinding.
Scholten menyatakan bahwa menjalankan undang-undang itu selalu “rechtsvinding”.[7]
Kemandirian hakim dalam menemukan dan pembentukan hukum
itu, serta dapat menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak atau
dalam mengisi ruangan yang kosong dalam undang-undang, adalah tidak
bertentangan dengan undang-undang, karena keputusan hakim yang demikian itu
hanya berlaku bagi para pihak yang berperkara saja dan tidak berlaku
sebagai peraturan umum. Namun keputusan hakim yang didasarkan oleh hukum yang
ditemukannya itu, dalam keadaan dan waktu tertentu, dapat diikuti oleh
hakim-hakim yang lain dalam hal perkara yang sama dan akhirnya menjadi suatu
yurisprudensi yang tetap dan sekaligus menjadi sumber hukum yang formil.
Kedudukan yurisprudensi di Indonesia sangat berbeda
dengan keputusan hakim yang merupakan “Preseden” sebagaimana yang
terdapat di Inggris dan Amerika, seperti apa yang dikemukakan oleh Gray.
Teori Gray dikenal dengan nama teori mengenai All the
law is judge made law. Suatu peraturan barulah menjadi peraturan hukum
apabila peraturan itu telah dimasukan dalam putusan hakim. Anggapan Gray ini
berdasarkan peradilan dilaksanakan di negeri Inggris, di Amerika Serikat dan di
Afrika Selatan dan disebut sebagai peradilan preseden (Presedenten rechts
praak). Hakim wajib mengikuti keputusan hakim yang kedudukannya menurut
hirarki pengadilan lebih tinggi, wajib mengikuti keputusan hakim yang lain yang
kedudukannya sederajat, tetapi telah lebih dahulu membuat penyelesaian suatu
perkara semacam, bahkan wajib mengikuti keputusan sendiri yang dibuatnya lebih
dahulu dalam perkara semacam (stare desicis). Hukum yang berasal dari
pengadilan preseden disebut “judge made law” atau “judiciary
law” . Terutama di negeri Inggris sering “judge made law” itu
dianggap lebih penting dari pada “Statute law” (hukum yang ada di dalam
peraturan perundang-undangan). Pentingnya “judge made law” itu
diperbesar oleh Gray dalam rumusannya “All the law is judge made law”.[8]
Fungsi hakim yang bebas untuk mencari dan merumuskan
nilai hukum adat dalam masyarakat, diharapkan dapat memfungsikan hukum untuk
merekayasa masyarakat dalam seluruh aspek kehidupan dengan memenuhi rasa
keadilan, kegunaan dan kepastian hukum secara serasi, seimbang dan selaras.
Dewasa ini di Indonesia telah berkembang faham untuk mengfungsikan hukum
sebagai rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) terutama
dalam bidang hukum privat adat menjadi hukum privat nasional.
Berbekalkan konsep dan rancangan kebijakan seperti itu,
tak pelak para pendukung hukum adat tak dapat bertindak lain selain
mengandalkan kemampuan para hakim untuk mengembangkan pendayagunaan hukum dalam
masyarakat, atas dasar prinsip-prinsip kontigensi yang harus benar-benar
kreatif. Sekalipun dalam era orde baru badan-badan kehakiman diidealkan akan
menjadi hakim yang bebas dan pembagian kekuasaan dalam pemerintah akan
dihormati dengan penuh komitmen, akan tetapi harapan-harapan kepada badan-badan
ini sebagai badan yang mandiri dan kreatif untuk merintis pembaharuan
hukum-lewat pengartikulasian hukum dan moral rakyat agaknya terlampau
berkelebihan.[9] Salah satu aspek
dalam kehidupan hukum adalah kepastian, artinya, hukum berkehendak untuk
menciptakan kepastian dalam hubungan antar orang dalam masyarakat. Salah satu
yang berhubungan erat dengan masalah kepastian tersebut adalah masalah dari
mana hukum itu berasal. Kepastian mengenai asal atau sumber hukum menjadi
penting sejak hukum menjadi lembaga semakin formal. Dalam konteks perkembangan
yang demikian itu, pertanyaan mengenai “sumber yang manakah yang dianggap
sah?” menjadi penting.[10]
Penemuan hukum di Indonesia menggunakan aliran Rechtsvinding berarti
hakim memutuskan perkara berpegang pada undang-undang dan hukum lainnya yang
berlaku di dalam masyarakat secara gebonden vrijheid
(kebebasan yang terikat) dan vrije gebondenheid (ketertarikan
yang bebas). Tindakan hakim tersebut dilindungi Pasal 16 ayat (1)
Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan
“Pengadilan tidak boleh
menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya”.
Landasan Pasal 16 (1) UU No. 4 Tahun 2004 adalah Pasal 20
AB (yang menyatakan bahwa hakim harus mengadili berdasarkan undang-undang). dan
pasal 22 AB (mengatakan hakim tidak boleh menolak mengadili perkara yang
diajukan kepadanya dengan alasan undang-undangnya tidak lengkap). Jika hakim
menolak mengadili perkara dapat dituntut.Apabila undang-undangnya tidak ada
(kekosongan hukum) hakim dapat menciptkan hukum dengan cara konstruksi hukum
(analogi), penghalusan hukum (rechtsverfijning danargumentum a
contracio).
Berdasarkan kedua ketentuan tersebut di atas, maka hakim
dipaksa atau wajib turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan mana
yang tidak. Bilamana undang-undang tidak mengatur suatu perkara, maka hakim
harus bertindak atas inisiatif sendiri untuk menemukan dan menggali nilai-nilai
hukum yang tidak tertulis yang hidup di kalangan rakyat (living law).
Untuk itu, ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal,
merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.[11]
Interpretasi hukum lazimnya diartikan sebagai proses
pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi
tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Ini
merupakan proses konkritisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat
umum dengan mengingat peristiwa konkrit. Sementara orang lebih suka menggunakan
istilah “pembentukan hukum” dari pada “penemuan hukum”, atau
Interpretasi hukum oleh karena istilah penemuan hukum memberi sugesti
seakan-akan hukumnya sudah ada.[12]
Di Indonesia, lembaga penemuan hukum ini akan
membawa kita kepada lembaga interpretasi hukum dan konstruksi hukum. Karena
dalam melakukan penyesuaian peraturan perundang-undangan dengan peristiwa
konkrit yang terjadi dalam masyarakat, tidak selalu dapat diselesaikan dengan
jalan menghadapkan fakta dengan peraturannya saja melalui interpretasi, tetapi
lebih jauh dari itu kadangkala hakim terpaksa mencari dan membentuk hukumnya
sendirinya melalui konstruksi dengan cara Analogi, Rechtsverfijning danArgumentum
a contrario. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa dalam hukum adat
Indonesia menganut sistem partriar chaat, segala harta yang timbul
dalam perkawinan adalah milik suami, janda tidak berhak mewarisi harta
peninggalan suaminya. Kedudukan janda dalam hukum adat ini dianggap tidak
sesuai dengan rasa keadilan, karena itu janda harus diberikan kedudukan yang
pantas di samping kedudukan keturunan anak-anak keturunan sipeninggal warisan.[13] Tugas hakim adalah
menyelesaikan tiap perkara, meskipun bertentangan dengan undang-undang atau
undang-undang tinggal diam. Hakim wajib membuat penyelesaian yang diinginkan
oleh masyarakat pencari keadilan itu, berdasarkan hukum yang ditemukan atau
dibentuknya sendiri.
Sementara itu Konstruksi hukum sebagai metode
penemuan hukum yang lain, dapat dilakukan apabila suatu perkara yang
dimajukan kepada hakim, tetapi tidak ada ketentuan yang dapat dijalankan untuk
menyelesaikan perkara tersebut, meskipun telah dilakukan penafsiran hukum.
Begitu juga setelah dicari dalam hukum kebiasaan atau hukum adat, namun tidak
ada peraturan yang dapat membawa penyelesaian terhadap kasus tersebut. Dalam
hal demikian hakim harus memeriksa lagi sistim hukum yang menjadi dasar lembaga
hukum yang bersangkutan. Apabila dalam beberapa ketentuan ada mengandung
kesamaan, maka hakim membuat suatu pengertian hukum (rechtsbegrip)
sesuai dengan pendapatnya.
Penafsiran atau interpretasi hukum ialah mencari dan
menetapkan pengertian atas dalil-lalil yang tercantum dalam undang-undang
sesuai dengan cara yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat
undang-undang.
Dengan menggunakan metode
interpretasi hukum, ada bermacam-macam penemuan hukum ialah sebagai berikut:
Penafsiran menurut tata bahasa (grammaticale interpretatie); Penafsiran
dari segi sejarah (historische interpretatie); Penafsiran dari segi
sistem peraturan/perundang-undangan yang bersangkutan (sistematische
interpretatie); Penafsiran dari segi masyarakat (sosiologische
interpretatie); Penafsiran otentik (authentieke interpretatie);
Penafsiran analogis; Penafsiran a contrario; penafsiran ekstensif;
Penafsiran restrictif; Penafsiran perbandingan.
Interpretasi hukum
tidak semata dilihat sebagai suatu yang legal dan memisahkanya dengan kenyataan
sebagai sesuatu yang sociological, empirical, bukan dua
hal yang terpisah dan bisa dipisahkan secara mutlak. Setiap kenyataan harus
melihat pada peraturan, dan sebaliknya peraturan juga harus melihat pada
kenyataan. Penafsiran (interpretasi) adalah hal yang akan menjadi jembatan di
antara keduanya Oleh karena itu, penafsiran bukan semata-mata membaca peraturan
dengan menggunakan logika peraturan, melainkan juga membaca kenyataan
(realitas) atau perkembangan yang terjadi di masyarakat. Jika kedua macam
pembacaan, pembacaan peraturan dan pembacaan kenyataan sosial, digabungkan,
maka akan muncul pembacaan dan penafsiran yang lebih inovatif, kreatif, dan
berkeadilan.[14]
Proyeksi interpretasi hukum akan berjalan, manakala sebuah
peraturan sudah diundangkan dan siap untuk diberlakukan pada publik, maka ia
dianggap sudah mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi. Maka
sebuah undang-undang undang-undang harus bisa menyelesaikan persoalan pencurian
aliran listrik (misalnya) yang ketika undang-undang itu dibentuk aliran listrik
belum dikategorikan sebagai barang dan bahkan belum ada dalam benak
“produsen”nya. Sejak penerapan peraturan adalah time bound dan space
bound dan peraturan yang dibuat itu juga terkait pada keduanya, maka
setiap saat peraturan itu akan mengalami pendefinisian kembali agar bisa
melayani situasi “di sini dan sekarang”. Oleh sebab itu dikatakan, bahwa
penegakan hukum itu bukan semata-mata pekerjaan mesin yang otomatis dan linier,
akan tetapi penuh kreatifitas. Pekerjaan menemukan hukum adalah pekerjaan
kreatif dan di situlah terletak penafsiran.
Interpretasi hukum sebagai metode penemuan hukum yang
kratif dan inovatif, dapat diartikan sebagai analisa dari teks normatif menuju realitas
empiris, yang merupakan salah satu kritik atas metode penemuan hukum yang positivistik
yang berkembang di abad 19 yang merupakan pengaruh ajaran Trias
Politica Montesquieu. Trias Politica memberikan
pemisahan yang jelas antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pemisahan
tersebut menentukan batas yang tegas bagi penegakan hukum sehingga tidah boleh
sama sekali memasuki ranah perbuatan hukum. Penemuan hukum didirikan sebagai
bagian dari penerapan aturan terhadap kenyataan dan aturan itu hanya diberikan
oleh undang-undang. Suatu putusan tidak boleh dibatalkan atas pertimbangan yang
sifatnya umum, melainkan hanya manakala terjadi kesalahan dalam penerapan
undang-undang. Hakim tidak diperbolehkan “mengganggu” undang-undang dengan
putusannya. Kodifikasi –yang merupakan ciri positivisme beranggapan bahwa
legislatif dengan segala kekuatannya telah mengatur semua kejadian yang akan
datang. Tidak ada kekosongan dan cacat di dalamnya, sehingga penafsiran adalah
sebuah kegiatan yang tidak diperlukan bahkan dianggap berlebihan. Memang
undang-undang sebagai karya manusia mengandung cacat, akan tetapi itu harus
dikembalikan pada badan legislatif. Bukan menjadi tugas hakim untuk memberi penafsiran guna mengurangi
cacat atau kekosongan itu.
Sejarah hukum telah mencatatnya, bahwa aliran ini
akhirnya mulai banyak dikritik, terutama oleh Aliran Realisme yang pada akhir
abad 19 merupakan aliran pemikiran yang kuat di Amerika Serikat. Aliran inilah
yang menurunkan keperkasaan undang-undang yang dihasilkan oleh badan legislatif
yang menjadi pusat kehidupan hukum dari singgasananya. Tidak ada satu pusat,
tetapi sumber hukum itu tersebar pada berbagai sumber lain. Sejak kekuasaan
tidak lagi dimonopoli oleh badan legislatif, maka hakim muncul sebagai pusat
yang baru (Judge Made Law). Salah satu hal yang penting dari paparan
tersebut adalah adanya pergulatan antara pikiran analitis dan realitas atau
sosiologis sebagaimana diwakili oleh analytical jurisprudence dan legal
realism. Yang pertama selalu melihat ke dalam bingkai peraturan dan
tidak keluar dari lingkaran itu. Berdasarkan pemikiran hukum yang demikian itu,
maka penafsiran hukum menjadi hal yang ditabukan. Tidak ada dan tidak boleh ada
penafsiran, yang ada adalah penafsiran hukum, undang-undang. Penafsiran itu ada
di tangan badan legislatif karena ketika pembuatan hukum terjadi, maka
penafsiran sudah ada di dalamnya. Di sini kepastian sangat diunggulkan, bahkan
samapai titik mutlak. Dan kepastian itu diperoleh dengan membaca undang-undang.
Namun sebaliknya, pikiran realisme dan sosiologis
berpendapat bahwa hukum itu merupakan kerangka yang abstrak sedangkan setiap
perkara yang dihadapkan kepadanya adalah unik. Kalau orang berpegang pada
kata-kata undang-undang, maka sifat unik dari perkara itu akan hilang dan
dikesampingkan. Maka setiap pembuat putusan hukum adalah aktivitas yang
kreatif, demi melayani keunikan tersebut. Dan penafsiran yang bebas akan
memberikan ruang yang luas untuk hal tersebut. Rasa keadilan akan lebih
diutamakan daripada kepastian yang tidak berkeadilan. Teks undang-undang
dijadikan sebagai sarana untuk mencapai keadilan dan untuk melayani masyarakat,
dan bukan sebaliknya, menjadikan teks undang-undang sebagai tujuan akhir
walaupun bertentangan dengan keadilan dan tidak mampu melayani tuntutan
masyarakat.
Uraian
diatas, adalah sebuah langkah awal untuk memahami
bagaimana realitas dari interpretasi hukum itu bekerjanya dalam kenyataan,
paparan di atas memberikan sedikit gambaran bahwa interpretasi hukum merupakan
salah satu sarana yang dipakai untuk memahami hukum, menemukannya dan menjadi
“jembatan” perantara antara teks undang-undang dengan kenyataan sosial, antara
kepastian hukum dengan pemenuhan rasa keadilan. Teori interpretasi nampaknya
akan terus berkembang, dari yang menjadikan interpretasi hanya pada sisi
gramatikal sampai penafsiran yang interdisipliner dan multidisipliner, dan
bahkan penafsiran progresif dan berkeadilan. Perkembangan metode interpretasi
hukum, menurut penulis, tidak lepas dari adanya kebutuhan mendesak untuk
melayani kebutuhan masyarakat dan mengikuti perkembangan sosial yang tiada
hentinya.
Hukum dalam bingkai apparatus Negara (kejaksaan,
pengadilan, kepolisian), boleh dikatakan terlampau hanya menempatkan hukum
hanya sekedar sebagai sebuah aturan belaka (linear). Hal tersebut tentu
saja menimbulkan kekakuan dalam menjalankan logika hukum (logic of law).
Lihat saja kasus Nenek Minah (2011) yang disangkakan melakukan tindak pidana
pencurian atas 3 biji semangka. Secara substansi hukum, tidak ada yang salah
dengan tindakan dan proses hukum yang dijalaninya. Namun secara sosial, justru
hal ini menyerang titik nadi rasa keadilan masyarakat. Rasa keadilan masyarakat
tergerogoti ketika seorang Nenek Minah dimeja hijaukan, jusru ketika para
koruptor perampok uang rakyat tidak pernah sedikitpun tersentuh (untouchable)
oleh hukum.
Belajar dari kasus tersebut, saya berpendapat
bahwa selama ini, hukum di Negara kita telah mengunci pemaknaan
aturan hanya sebatas aturan (rules by rules), bukan sebagai aturan untuk
keadilan (rules for justice), sehingga makna dibalik setiap teks
undang-undang (baik unifikasi maupun kodifikasi), tidak mampu
diterjemahkan dengan baik. Sehingga setiap putusan hukum, praktis hanya
bersandar kepada aturan undang-undang, bukan pada pemaknaan hukum sebagai media
untuk menghantarkan keadilan masyarakat. Kita harus memahami bahwa hukum ada
untuk manusia, bukan untuk dirinya sendiri. Sehingga cara pandang dalam
menerapkan aturan hukum juga harus kita maknai sebagai cara untuk memberikan
rasa keadilan bagi masyarakat. Hukum tidaklah bersifat final (status quois)
sebagaimana yang tertuang dalam kitab undang-undang, akan tetapi hukum akan
terus berkembang dan mencari kesempurnaan (law in the making). Begitu pula
dengan sifatnya, hukum bukanlah benda mati yang hanya terdiri dari rangkaian
teks undang-undang. Hukum tidak boleh disamakan dengan sebuah teknologi yang
tidak memiliki hati nurani. Sebab hukum memiliki makna untuk membebaskan ummat
manusia dari ketidakadilan, bukan membebaskan manusia dari sekumpulan aturan
undang-undang. Maka dari itu, sepatutnyalah kita membaca hukum bukan hanya
sekedar teks yang tertuang, namun makna dibalik teks tersebut. Hukum harus
diposisikan sebagai alat untuk mencari keadilan yang memihak kepada kepentingan
kelas mayoritas, kelas dalam masyarakat yang memiliki kepentingan bersama (common
interest) diatas segalanya, dan melepaskan diri dari tendensi kekuasaan
yang hanya memihak segelintir orang.
[1] Mengapa
harus dilakukan sebuah penafsiran terhadap hukum (interpretasi hukum), sebab Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental dimana
dalam sistem hukum ini sumber hukum yang utama adalah Perundang-Undangan.
Sehingga segala hal yang berhubungan dengan perundang-undangan lebih diutamakan
eksistensi serta pelaksanaannya.Dalam
pelaksanaanya tersebut, maka seorang penegak hukum (baik Polisi, Jaksa,
Pengacara (Advokat) maupun Hakim, harus dapat menafsirkan hukum sedemikian
rupa, sehingga hukum tersebut dapat membawa kearah yang lebih baik
sebaik-baiknya demi kesejahteraan umat manusia. Bandingkan dengan: Bagir Manan, Hukum
Positif Indonesia, FH UII Press:Yogyakarta, 2004. Hlm: 1
[2]Bagir
Manan, berpendapat atas dasar itu beliau
mengatakan bahwa Kumpulan
asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini sedang
berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui
pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia” , dimana hukum positif sudah
seharusnya dapat diaritkan dan dipahami secara jelas mempertimbangkan dasar
filosofis, sosiologis dan juga yuridisnya.
[3]Lihat, Pasal 28
Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Mengapa hakim harus melihat hukum yang
hidup dalam masyaraka, sebab seorang Hakim harus memilki kemampuan dan keaktifan untuk menemukan
hukum (Recht Vinding). Yang di maksud dengan Recht Vinding adalah proses pembentukan
hukum oleh hakim/aparat penegak hukum lainnya dalam penerapan peraturan umum
terhadap peristiwa hukum yang konkrit. Dan hasil penemuan hukum menjadi dasar
baginya mengambil keputusan. (Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH. Hal 47).
[5] Penganut doktrin sens-clair pada
dasarnya adalah bahwa hakim tidak setiap
saat melakukan penemuan hukum sebab menganggap penemuan hukum itu terjadi
apabila hakim menerapkan hukum yang sama sekali ketentuan hukumnya belum ada
artinya menganggap bahwa ada teks UU yang jelas terhadap suatu kasus-kasus yang
kongkret.
[6] E. Utrecht, Op.cit, hal. 230. Aliran yang
mengatakan bahwa hakim hanyalah sebagai corong Undang-Undang saja , banyak di
pengaruhi oleh Montesquieu; Kant, yang pada intinya
aliran ini berpendapat bahwa berpendapat bahwa
Hakim dalam menetapkan Undang-undang terhadap peristiwa hukum sesungguhnya
tidak menjalankan perannya secara mandiri. Hakim adalah penyambung lidah atau
corong Undang-undang (Bouchedelelaoi) sehingga tidak dapat merubah
kekuatan hukum Undanng-undang tidak dapat menambah, tidak dapat menguranginya
disebabkan Undang-undang satu-satunya sumber hukum positif. Dalam tinajuan
aliran ini, Undang-undang merupakan
preemis mayor dan peristiwa konkrit merupakan premis minor; sedangkan keputusan
Hakim adalah konklusi(kesimpulan). Suatu kesimpulan logis tidak akan melebihi
dari yang terdapat pada premis-premisnya, ini adalah pandangan yang logistic.
[8] Ibid, hal. 263. Menurut Van Hommes di sebut materi jdvuridis, yang di Jerman
dipertahankan oleh Oscar Bullow,Eugen Ehrlich, dan di Perancis oleh Francois
Geny, serta di Amerika oleh Oliver Wender Holmes dan Jerome Frank.Geny menentang
penyalahgunaa cara berrfikir yang abstract logistic dalam pelaksanaan hukum dan fiksi bahwa Undang-undang berisikan hukum yang berlaku. Olive Wender dan J.
Frank menantang pendapat yang
mengatakan bahwa hukum yang ada itu lengkap dan dapat menjadi sumber bagi hakim
yang memutuskan peristiwa konkrit. Penemuan hukum lebih menggunakan pandangan Mazhab Historis yang di pelopori
oleh Carl Von Sevigny yaitu hakim juga perlu
memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat, karena setiap
Bangsa itu memilliki jiwa Bangsanya masing-masing(Volkgeist) yang
berbeda untuk setiap tempat. Hukum Precedent di Negara-negara Annglo Saxon adalah hasil pembentukan
hukum yang ottonom yang sepanjang pembentukan peraturan dan penerapan peraturan
dilakukan oleh hakim berdasarkanoleh hati nuraninya tetapi juga sekaligus
bersifat Heteronom karena Hakim juga terikat pada keputusan-keputusan terdahulu (faktor-faktor dari luar
diri Hakim). Sedangkan hukum kontinental seperti di Indonesia mengenal penemuan
hukum yang Heteronom sepanjang Hakim terikat kepada Undang-undang. Tetapi
penemuan hukum oleh Hakim tersebut mempunyai unsur-unsur yang kuat disebabkan
Hakim harus menjelaskan atau melengkapi Undang-undang menurut pandangannya
sendiri.
[9] Soetandyo
Wignjosoebroto, “Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional Dinamika Sosial
Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia”, (Jakarta: Raja Grapindo
Persada, 1994), hal. 244.
[11] asas “ius curia novit”
dimana hakim tidak boleh menolak menyelesaikan suatu perkara dengan alasan
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutnya, tidak jelas,
atau tidak lengkap. Oleh karena itu hakim harus menyesuaikan Undang-undang
dengan hal-hal konkret sehingga hakim dituntut untuk berfikir dalam menemukan
pasal dakwaannya jadi dapat disimpulkan bahwa hakim selalu melakukan penemuan
hukum.
[12]Van Eikema Hommes, “Logika
en Rechtsvinding”, (Tanpa kota: Vrije Universiteit, tanpa tahun), hal. 32.
[13] Lihat, Mahkamah Agung dalam
Putusan tanggal 2 Nopember 1960, Reg. No.302 K/Sip/1960, berkesimpulan bahwa:
“hukum adat di seluruh Indonesia perihal warisan mengenai seorang janda
perempuan selalu merupakan ahli waris terhadap barang asal suaminya dalam arti,
bahwa sekurang-kurangnya dari barang asal itu sebagian harus tetap berada di
tangan janda, sepanjang perlu untuk hidup secara pantas sampai ia meninggal
dunia atau kawin lagi, sedang di berapa daerah Indonesai di samping menentukan
ini mungkin dalam hal barang-barang warisan adalah berupa amat banyak kekayaan,
sijanda perempuan berhak atas bagian dari barang-barang warisan seperti seorang
anak kandung dari sipeninggal warisan”. Yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut,
tidak dapat berlaku sebagai peraturan hukum yang mengikat secara umum, tetapi
hanyalah mengikat para pihak yang berperkara saja atau lebih jauh dapat diikuti
oleh hakim lain dalam hal perkara yang sama. Namun sebagai penemuan hukum dari
hakim yurisprudensi ini cukup berharga sebagai faktor pembentukan hukum
nasional.
[14] Mengapa
interpretasi hukum tidak boleh membedakan atau mungkin memilah-milah antara
kenyataan dengan sesuatu yang sifatnya legal, sebabab pada dasarnya hukum harus kita tempatkan sebagai kerangka proses yang
terus mengalami perkembangan (law in the making). Hukum bukanlah dogma
yang bersifat final. Hukum tentu saja akan bergerak secara simultan sesuai
dengan tuntutan zamannya (continue on progress). Sebagai contoh, kita
dapat memetik buah pengalaman sejarah terhadap pemaknaan “perbuatan melawan
hukum”. Jika dulu perbuatan melawan hukum hanya dimaknai sebagai tindakan yang
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, maka
perkembangan masyarakat menuntut keberadaan landasan pikir baru yang harus
mengadopsi perubahan besar yang terjadi dalam masyarakat. Ini bisa kita lihat
dalam “Arrest Hoge Raad”, atau putusan Mahkamah Agung Belanda
pada bulan Januari 1919, atau sering juga diistilahkan dengan “Revolusi Bulan
Januari”. Putusan tersebut tidak hanya mendefinisikan ulang terhadap makna
perbuatan melawan hukum, tapi juga memberikan suatu lompatan besar dalam
sejarah perkembangan hukum yang selalu mengalami progressifitas. Mahkamah Agung
Belanda pada tanggal 13 Januari 1919 membuat putusan yang mengatakan bahwa, “melawan
hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tapi juga bertentangan
dengan tata susila dan kepatutan menurut masyarakat”. Sajipto Rahardjo, Hukum Progresif, sebuah sintesa hukum Indonesia,Yogyakarta: Genta Publishing, 2009, hlm: 61. Artinya, landasan kuat yang menegaskan bahwa hukum harus
mengalami proses adaptasi sesuai dengan zamannya masing-masing. Inilah salah
satu makna dasar dari hukum progresif. Hukum bukanlah sebagai sebuah system
yang stagnan dan
status quois, namun
mengikuti jejak perkembangan sejarah sesuai dengan tuntunan perubahan social
masyarakat. Sebagaimana yang diungkapkan olehSatjipto Rahardjo, bahwa, “suatu
karekteristik penting dari hukum progresif adalah wataknya yang menolak keadaan
status-quois, apabila keadaan tersebut menuimbulkan dekadensi, suasana korup
dan sangat merugikan kepentingan rakyat. Watak tersebut membawa hukum progresif
kepada perlawanan dan pemberontakan yang akhirnya berujung pada penafsiran
progresif terhadap hukum.
Jika dalam konsepsi hukum progeressif (yang mulai menjadi diskursus penting sejak awal tahun 2000-an), ditekankan pentingnya meninjau kembali posisi sistem hukum nasional kita, tentu tidaklah terasa cukup untuk membangun akses keadilan secara utuh kepada masyarakat. Hukum memang harus kita sepakati sebagai sesuatu yang harus berubah, baik dalam teks maupun konteks penerapannya. Akan tetapi tuntutan perubahan ini harus disertai dengan pola hukum yang memihak kepada kepentingan kelas social mayoritas dalam masyarakat. Mayoritas bukan dalam makna kuantitas ras, suku dan keagamaan, namun mayoritas dalam makna kelas social sebagaimana penjelasan dibagian awal sebelumnya.
Jika dalam konsepsi hukum progeressif (yang mulai menjadi diskursus penting sejak awal tahun 2000-an), ditekankan pentingnya meninjau kembali posisi sistem hukum nasional kita, tentu tidaklah terasa cukup untuk membangun akses keadilan secara utuh kepada masyarakat. Hukum memang harus kita sepakati sebagai sesuatu yang harus berubah, baik dalam teks maupun konteks penerapannya. Akan tetapi tuntutan perubahan ini harus disertai dengan pola hukum yang memihak kepada kepentingan kelas social mayoritas dalam masyarakat. Mayoritas bukan dalam makna kuantitas ras, suku dan keagamaan, namun mayoritas dalam makna kelas social sebagaimana penjelasan dibagian awal sebelumnya.
ditulis dengan refrensi http://tafsir-hukum.blogspot.co.id/