Islam memerintah kepada para suami untuk memperlakukan istrinya sebaik mungkin, hal ini banyak ditegaskan di dalam Al-Qur'an maupun hadits Rasulullah SAW
Alloh Swt berfirman:
"Dan Bergaulah dengan mereka secara patut (ma'ruf). Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak" (An-Nisaa: 19)
"Dan Bergaulah dengan mereka secara patut (ma'ruf). Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak" (An-Nisaa: 19)
Rasulullah SAW bersabda:
"Orang muslim yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik di antara mereka akhlaknya, dan sebaik-baiknya kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya"
"Orang muslim yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik di antara mereka akhlaknya, dan sebaik-baiknya kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya"
"Janganlah salah seorang di antara kalian memukul istrinya seperti memukul hamba sahayanya kemudia ia mengaulinya di ujung hari"(Muttafaqun Alaih)
Kalau kita baca kitab-kitab fiqh yang berkaitan dengan hak-hak seorang istri, kita akan dapatkan suatu hal yang sangat menakjubkan. Bagaimana tidak, seorang istri dalam pandangan Islam berhak dipenuhi segala kebutuhannya oleh sang suami. Baik itu rumahnya, pakaiannya, makanannya dan lain-lain. Ia tidak diwajibkan untuk memasak, mencuci, membersihkan rumah dan lain-lain.
Tetapi Islam mewajibkan kepada para istri untuk mentaati suami. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW: "Sesungguhnya seorang wanita, apabila ia telah menunaikan kewajiban sholatnya yang lima waktu, ibadah shaumya yang wajib, dan mentaati suaminya, maka ia berhak untuk masuk surga dari pintu mana saja yang ia kehendaki"
Oleh karena itu, jika ada suatu permintaan dari suami terhadap istrinya, maka ia wajib untuk memenuhinya. Hal itu merupakan suatu kewajiban bagi dirinya, yang insya Allah jika istri memenuhinya dengan penuh keihlasan dan meyakini dengan sepenuh hati bahwa hal tersebut merupakan suatu kewajiban dari Allah SWT ia berhak mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Allah SWT.
HAK DAN KEWAJIBAN
Hal yang sering salah kaprah dipahami dalam bermuamalah, baik itu di rumah tangga atau di masyarakat pada umumnya adalah keinginan seseorang untuk memperoleh hak, sering lebih didahulukan daripada menunaikan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakannya. Islam mengajarkan kepada kita, bahwa setiap muslim harus terlebih dahulu memperhatikan kewajiban yang mesti ia tunaikan.
Adapun hak seseorang dalam pandangan Islam, akan ia peroleh dengan sendirinya jika ia telah selesai menunaikan apa yang menjadi kewajibannya. Realita menunjukan suatu masyarkat yang terlalu banyak menuntut haknya, maka dijamin masyarakat tersebut akan berantakan dan kehidupannya kacau balau.
Demikian pula kehidupan rumah tangga.
Jika sang istri terlalu banyak menuntut haknya, demikian juga sang suami maka dijamin rumah tangganya tidak akan pernah akur dan selalu ramai dengan pertengkaran dan perselisihan. Akan tetapi jika masing-masing lebih mengedepankan pelaksanaan kewajiban masing-masing terhadap pasangannya dijamin keluarga tersebut akan berjalan dengan penuh keharmonisan.
——————————————————————————
KEKERASAN
——————————————————————————
KEKERASAN
Dasawarsa sekarang ini, seiring dengan merebaknya isu emansipasi wanita di mana-mana. Mulai banyak wanita yang menyuarakan hak-hak mereka. Pelanggaran terhadap hak-hak yang mereka miliki dianggap sebuah kekerasan. Sekali lagi ini disebabkan karena kebanyakan mereka lebih menekankan perolehan hak daripada melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawab masing-masing.
Banyak muslimah yang terjerumus ke dalam pemikiran mereka, dan ikut-ikutan mengkampanyekan isyu-isyu yang menjadi mainstraem pemikiran mereka. Kelompok ini mulai mengkritisi (kalau tidak dapat dikatakan mengingkari) ayat-ayat yang mejelaskan hak suami untuk memberikan "pelajaran" terhadap istrinya yang melakukan nusuz (pembangkangan)
Padahal yang perlu diperjelas adalah bukannya mengkritisi ayat tersebut, tetapi apa dan bagaimana hukum nusuz dalam pandangan Islam serta batasan-batasan apa yang diperbolehkan oleh suami dalam memberikan hukuman terhadap istri yang melakukan nusuz.
Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:
"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Alloh Maha Tinggi lagi maha BesarĂ¯" (An-Nisaa: 34)
"Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu, maka sesungguhnya Alloh adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" (An-Nisaa: 128)
Ayat-ayat tersebut sering disalahtafsirkan oleh mereka yang mengatasnamakan "pejuang hak-hak perempuan" bahwa Islam adalah agama yang melegalisir terjadinya kekerasan di dalam rumah tangga dengan dalih Islam membolehkan para suami untuk memukul istri mereka berdasarkan ayat-ayat di atas.
Tentunya pendapat yang demikian perlu diluruskan, mengingat bahwa Allah tidak akan mensyariatkan sesuatu kecuali di dalamnya terdapat maslahat bagi hamba-hamba-Nya. Ini yang harus diyakini oleh setiap muslim dengan sepenuh hati.
TAFSIR SURAT AN-NISAA AYAT 34
Dalam surat An-Nisaa ayat 34 di atas, Allah menjelaskan tentang kedudukan suami sebagai pemimpin keluarga dan juga menjelaskan tentang kewajiban istri untuk mentaati suami. Jika ternyata dalam realita terjadi nusuz dari pihak istri terhadap suami dengan tidak mengindahkan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya, maka Islam mengajarkan langka-langkah yang harus dilakukan oleh suami sebagai pemimpin untuk mengarahkan istri kembali ke jalan yang benar. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama: Hendaklah sang suami menasehati istrinya dengan sebaik-baiknya, seraya mengingatkannya akan keawjiban-kewajiban yang mesti dijalankannya serta mengingatkan bahwa Allah SWT menjanjikan pahala yang besar jika ia mampu menunaikannya dan siksaan yang saangat pedih jika ia melanggarnya.
Kedua: Memisahkan istri dari tempat tidurnya atau membelakanginya ketika tidur, sebagai sebuah pelajaran dari suami. Biasanya seorang istri akan merasa tersisksa jika suami memperlakukan demikian karena seakan-akan suami sudah tidak memperhatikannya lagi
Ketiga: Ini adalah langkah yang terakhir, jika langkah pertama dan kedua sudah tidak mempan lagi untuk menyadarkan istri. Suami boleh memukul istrinya dengan maksud untuk menyadarkan istri akan keawiban-kewajibannya. Dengan syarat hal tersebut tidak dilakukan dengan penuh amarah dan kebencian, namun didasari kecintaan suami untuk menyadarkan si istri.
Langkah ketiga inilah yang sering dikritisi oleh mereka. Padahal kalau kita merujuk ayat di atas, langkah tersebut merupakan langkah terakhir yang boleh dilakukan oleh si suami jika kedua langkah sebelumnya belum juga dapat menyadarkan istrinya. Jika suami langsung melakukan pemukulan terhadap istrinya tanpa sebelumnya melakukan proses penyadaran istri dengan menasehatinya dan menjauhkannya dari tempat tidur, maka sang suami telah melakukan suatu kedzoliman. Tentunya hal tersebut sangat dilarang dalam Islam.
Dan perlu diingat bahwasnya pukulan yang dibolehkan adalah pukulan yang tidak membekas di tubuh istri sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah SAW dan para ulama.
Imam Fakhrur Razy dalam tafsirnya memberikan suatu komentar yang sangat menarik. Beliau berkata: Allah Swt mengakhiri ayat ini dengan menyebutkan dua sifat-Nya, yaitu Al-Aly (Yang Maha Tinggi) dan Al-Kabir (Yang Maha Besar) ini merupakan suatu susunan yang sangat sesuai dan indah ditinjau dari berbagai aspek:
A. Ayat ini merupakan suatu ancaman bagi para suami agar tidak melakukan kedzoliman terhadap istri mereka.
B. Kedudukan suami sebagai pemimpin di keluarga bukan menjadi alasan suami untuk bertindak sewenang-wenang terhadap istri yang telah mentaatinya. Karena sesungguhnya Alloh Lebih Tinggi dari kalian dan Ia Lebih Besar dari apapun. Dan Ia tidak akan membebankan sesuatu kecuali dengan haq.
C. Sesungguhnya Alloh dengan ke- Maha Tinggian-Nya dan ke-Maha Besaran-Nya, Ia tidak membebani kalian apa yang kalian tidak mampu untuk melakukannya
D. Sesungguhnya Alloh dengan ke- Maha Tinggian-Nya dan ke-Maha Besaran-Nya, Ia tidak akan menyiksa seorang yang melakukan maksiat apabila ia bertobat. Dan apabila seorang istri telah bertaubat dari sikap nusuznya, maka para suami lebih layak untuk melakukan hal tersebut (Tafsir Al-Kabir Juz 4 hal 73)
B. Kedudukan suami sebagai pemimpin di keluarga bukan menjadi alasan suami untuk bertindak sewenang-wenang terhadap istri yang telah mentaatinya. Karena sesungguhnya Alloh Lebih Tinggi dari kalian dan Ia Lebih Besar dari apapun. Dan Ia tidak akan membebankan sesuatu kecuali dengan haq.
C. Sesungguhnya Alloh dengan ke- Maha Tinggian-Nya dan ke-Maha Besaran-Nya, Ia tidak membebani kalian apa yang kalian tidak mampu untuk melakukannya
D. Sesungguhnya Alloh dengan ke- Maha Tinggian-Nya dan ke-Maha Besaran-Nya, Ia tidak akan menyiksa seorang yang melakukan maksiat apabila ia bertobat. Dan apabila seorang istri telah bertaubat dari sikap nusuznya, maka para suami lebih layak untuk melakukan hal tersebut (Tafsir Al-Kabir Juz 4 hal 73)
KESIMPULAN
Islam sangat melarang terjadinya kekerasan dalam sebuah keluarga, ini terbukti dengana banyaknya ayat di dalam Al-Quran maupun hadits-hadits dari Rasulullah SAW yang memerintahkan para suami untuk memperlakukan istrinya dengan sebaik-baik mungkin sebagaimana di atas.
Adapun adanya kebolehan suami untuk memukuli istrinya sebagaimana dikemukakan surat An-Nisa ayat 34 di atas, hal tersebut hanya berlaku pada situasi dan kondisi khusus dan dengan ketentuan-ketentuan tertentu pula. Oleh karena itu ayat tersebut tidak boleh ditafsirkan bahwa Islam melegalisir kekerasan dalam keluarga.