Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Pasal 4 Ayat (1) menyebutkan: “sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”.
Dikarenakan menurut Mahkamah Agung masih terdapat konflik di tubuh organisasi advokat sehingga mengakibatkan perpecahan, maka Ketua Mahkamah Agung RI telah menerbitkan surat tertanggal 1 Mei 2009, No. 052/KMA/V/2009, dimana dalam surat tersebut pada intinya menyatakan: “........Ketua Pengadilan Tinggi untuk tidak terlibat secara langsung atau tidak langsung terhadap adanya perselisihan, karenanya Ketua Pengadilan Tinggi tidak mengambil sumpah Advokat baru sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, karena akan melanggar Pasal 28 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003.”
Terbitnya surat tersebut menimbulkan berbagai reaksi dari Advokat, salah satunya adalah dengan diajukannya permohonan uji materiil (judicial review) terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, Pasal 4 Ayat (1) oleh HF. Abraham Amos, SH., Djamhur, SH. dan Drs. Rizki Hendra Yoserizal, SH. kepada Mahkamah Konstitusi, sebagaimana surat permohonannya tertanggal 27 Mei 2009 dan diregistrasi pada tanggal 24 Juni 2009 dengan nomor perkara: 101/PUU-VII/2009, dimana dalam petitum permohonannya : Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan UUD 1945, karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Selanjutnya Mahkamah Konstitusi sebagaimana Putusan No. 101/PUU-VII/2009, tertanggal 29 Desember 2009, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada tanggal 30 Desember 2009, amarnya antara lain berbunyi : Menyatakan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”, karenanya Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”.
Pada tanggal 24 Juni 2010, antara Indra Sahnun Lubis, SH., yang mengatasnamakan KAI dengan Peradi, yang difasilitasi oleh Mahkamah Agung telah menandatangani Naskah Kesepahaman Bersama (MoU), maka Ketua Mahkamah Agung RI telah menerbitkan surat tertanggal 25 Juni 2010, No. 089/KMA/VI/2010, Perihal : Penyumpahan Advokat, dimana dalam surat tersebut pada intinya mencabut Surat Mahkamah Agung No. 052/KMA/V/2009, selanjutnya Ketua Pengadilan Tinggi dapat mengambil sumpah para calon advokat yang telah memenuhi syarat, dengan ketentuan bahwa usul penyumpahan tersebut harus diajukan oleh Pengurus Peradi, sesuai dengan jiwa kesepakatan tanggal 24 Juni 2010.
Surat Ketua Mahkamah Agung RI No. 089/KMA/VI/2010 tersebut, secara hukum bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, karena yang dapat dilakukan pengambilan sumpah hanyalah Advokat yang diajukan oleh Pengurus Peradi saja, padahal Mahkamah Konstitusi sebagaimana Putusannya No. 101/PUU-VII/2009, tertanggal 29 Desember 2009 telah secara tegas menyatakan bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”.
Sebagai implikasi Surat Ketua Mahkamah Agung RI No. 089/KMA/VI/2010 tersebut, Pengadilan Tinggi Denpasar pada tanggal 24 Agustus 2010 telah melakukan pengambilan sumpah terhadap 38 (tiga puluh delapan) Advokat.
Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Advokat Indonesia (DPD KAI) Jawa Timur, sebagaimana suratnya No. 002/SP/DPD-KAI/JATIM/VIII/2010, tertanggal 5 Agustus 2010, telah mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Timur, untuk melakukan pengambilan sumpah terhadap Advokat Anggota KAI, yang diterima oleh Pengadilan Tinggi Jawa Timur pada tanggal 5 Agustus 2010.
Sampai dengan saat ini Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Timur masih belum memberikan tanggapan apapun juga terkait permohonan yang diajukan oleh DPD KAI Jawa Timur. Pertanyaan selanjutnya yang timbul : “bagaimanakah bila Pengadilan Tinggi Jawa Timur menolak untuk mengambil sumpah Advokat KAI, dengan mendasarkan kepada Surat Ketua Mahkamah Agung RI No. 089/KMA/VI/2010?”.
A. Ketua Pengadilan Tinggi sebagai Pejabat Tata Usaha Negara
Pengadilan Tinggi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman adalah menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia yang berada di bawah Mahkamah Agung, karenanya Ketua Pengadilan Tinggi sebagai unsur Pimpinan Pengadilan salah satunya mempunyai tugas pokok dan fungsi melaksanakan tugas dan tanggung jawab atas terselenggaranya peradilan yang baik.
Disamping melaksanakan tupoksi sebagaimana dimaksud diatas, Ketua Pengadilan Tinggi juga menjalankan perannya sebagai penyelenggara kebijakan publik, yaitu dalam hal menjalankan urusan yang bersifat eksekutif atau urusan pemerintahan.
Pengangkatan Ketua Pengadilan Tinggi dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung RI dalam suatu Surat Keputusan tentang Pengangkatan Ketua Pengadilan Tinggi, dimana Ketua Pengadilan Tinggi berstatus sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dengan pangkat Pembina Utama/Hakim Utama.
Untuk memahami tupoksi Ketua Pengadilan Tinggi sebagai penyelenggara kebijakan publik, telah diatur dalam Keputusan Mahkamah Agung RI No. 125/KMA/SK/IX/2009, tertanggal 2 September 2009, tentang Pendelegasian sebagian Wewenang kepada Pejabat Eselon I dan Ketua Pengadilan Tingkat Banding di Lingkungan Mahkamah Agung untuk Penandatanganan di Bidang Kepegawaian, dimana Pasal 6 menentukan antara lain: “Ketua Pengadilan Tingkat Banding berwenang di bidang kepegawaian untuk mengeluarkan surat keputusan (beschikking) tentang pemberhentian sementara dari jabatan dan pengangkatan kembali PNS yang berpangkat Penata Tingkat I (III/d) ke bawah di lingkungannya bagi pegawai Tenaga Non Tehnis Badan Peradilan.
Pada saat Ketua Pengadilan Tinggi menerbitkan Surat Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diatas, maka kedudukan Ketua Pengadilan Tinggi adalah menjalankan perannya sebagai penyelenggara kebijakan publik, yang menurut Pasal 1 butir 2, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Ketua Pengadilan Tinggi dalam hal ini adalah sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, yaitu: “Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Lebih lanjut mengenai persoalan pengambilan sumpah Advokat yang telah ditentukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/2009, tertanggal 29 Desember 2009, dimana: “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”, maka kewajiban Pengadilan Tinggi yang dipimpin oleh Ketua Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah Advokat tersebut tidak termasuk dalam tupoksinya sebagai penyelenggara peradilan, melainkan termasuk urusan yang bersifat eksekutif atau urusan pemerintahan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 butir 1, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, karena Ketua Pengadilan Tinggi dalam hal ini telah menjalankan perannya sebagai penyelenggara kebijakan publik.
Karenanya, terkait persoalan pengambilan sumpah Advokat, secara hukum Ketua Pengadilan Tinggi adalah merupakan Pejabat Tata Usaha Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 butir 2, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
B. Penolakan Ketua Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah Advokat merupakan Keputusan Tata Usaha Negara
Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, menyatakan: “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.
Dari rumusan tersebut diatas, dapat ditarik unsur-unsur yuridis keputusan menurut hukum positif, sebagai berikut : suatu penetapan tertulis, dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata Usaha Negara, berisi tindakan hukum tata usaha negara, bersifat konkret, individual dan final dan menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Lebih lanjut Pasal 3 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, menentukan: “…..setelah lewat jangka waktu 4 (empat) bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, maka yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan”.
Mengangkat persoalan DPD KAI Jawa Timur, sebagaimana surat No. 002/SP/DPD-KAI/JATIM/VIII/2010, tertanggal 5 Agustus 2010, yang telah mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Timur untuk melakukan pengambilan sumpah terhadap Advokat Anggota KAI, maka setelah lewat jangka waktu 4 (empat) bulan sejak tanggal 5 Agustus 2010 (saat diterimanya permohonan), ternyata Ketua Pengadilan Tinggi tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, maka secara hukum sejak tanggal 6 Desember 2010 Ketua Pengadilan Tinggi Surabaya telah mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang intinya menolak permohonan penyumpahan Advokat Anggota KAI.
C. Ketua Pengadilan Tinggi dapat dihukum membayar ganti rugi dan uang paksa (dwangsom)
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 Ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986: “seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi”.
Seandainya jumlah Advokat Anggota KAI yang ditolak oleh Ketua Pengadilan Tinggi untuk diambil sumpahnya sebanyak 100 (seratus) orang, maka apabila seorang Advokat saja menuntut ganti rugi (yang terdiri dari biaya pendidikan khusus profesi advokat, biaya ujian calon advokat, biaya pelantikan sebagai advokat dan lain-lain) yang seluruhnya sebesar Rp10.000.000,oo (sepuluh juta rupiah) maka bila tuntutan ini dikabulkan oleh Pengadilan, ganti rugi yang harus dibayar seluruhnya oleh Ketua Pengadilan Tinggi adalah sebesar Rp100.000.000,oo (seratus juta rupiah), belum termasuk uang paksa yang diajukan apabila Ketua Pengadilan Tinggi tidak melaksanakan isi putusan.
Tidak dapat dibayangkan apabila Advokat Anggota KAI yang ditolak diambil sumpahnya oleh Ketua Pengadilan Tinggi berjumlah 1.000 (seribu) orang, dan seluruh Advokat tersebut secara serentak mengajukan gugatan mengenai sengketa tata usaha negara terhadap masing-masing Ketua Pengadilan Tinggi yang tersebar di seluruh Indonesia serta melalui masing-masing Pengadilan Tata Usaha Negara yang tersebar di seluruh Indonesia, berapa besarnya ganti rugi serta uang paksa yang harus dibayar oleh Ketua Pengadilan Tinggi kepada Advokat yang mengajukan gugatan.
Seharusnya, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/2009, Ketua Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib segera mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, baik itu dari Peradi maupun KAI.
-----
*) Penulis adalah alumnus Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, dan sedang menempuh program S2 pada Universitas Merdeka Malang. Saat ini menjabat Ketua DPC KAI Kota Malang. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.