Dalam Islam ada dua jenis kafir, kafir akidah dan kafir nikmat. Mereka yang melakukan korupsi termasuk dalam kafir nikmat.
Pemberantasan korupsi merupakan salah satu cita-cita bangsa untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih. Tapi hingga kini cita-cita tersebut belum tercapai karena perbuatan korupsi masih merajalela.
Untuk melawan itu, dua organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, melakukan kajian fiqih tentang korupsi. Kajian tersebut pun dituangkan dalam buku berjudul ‘Korupsi itu Kafir’.
Sebagai editor buku itu, praktisi hukum Bambang Widjojanto mengatakan, korupsi dapat menghancurkan sebuah peradaban. "Siapapun kita, sebaiknya terlibat untuk berjihad di gerakan anti korupsi karena sebaik-baiknya pribadi adalah mereka yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Buku ini menawarkan beberapa alternatif pemberantasan korupsi di kalangan masyarakat Islam dan pemberantasan korupsi dalam berbangsa dan bernegara," tuturnya dalam peluncuran buku itu di kawasan Cikini Jakarta, Rabu (18/8).
Lebih jauh Bambang menjelaskan salah satu alternatif pemberantasan korupsi adalah lewat mekanisme pembuktian terbalik yangsudah ada sejak lama dalam Islam. Pembuktian terbalik merupakan salah satu alternatif dalam penegakan hukum. Sebagai contoh, tertulis dalam halaman 173 buku ini. Contoh lain kasus Nabi Yusuf yang difitnah telah melakukan pemerkosaan terhadap Zulaikha.
Pengurus NU Malik Madany menceritakan salah satu latar belakang pembuatan buku. Menurutnya, ia heran mengapa di negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam ini, tindakan tindakan korupsi malah marak.
"Ada yang salah dalam keagamaan kita. Akhlak itu moralitas, orang yang lakukan korupsi jelas orang yang tidak bermoral atau orang yang tidak berakhlak. Koruptor wajib dikutuk," tuturnya.
Menurut Malik, kafir yang dimaksud bukan dalam arti luas yang dikenal masyarakat. Kafir di sini lebih kepada arti yang khusus. Dalam Islam, ada dua jenis kafir, yaitu, kafir teologis (akidah) dan kafir terhadap nikmat karunia Allah. "Dalam segi kafir akidah, saya kira dua ormas Islam ini tidak berani memasukkan koruptor kedalamnya. Tapi kalau masuk kategori kafir nikmat, saya pikir dua ormas setuju bahwa koruptor masuk di dalamnya," paparnya.
Merujuk sebuah hadits, lanjut Malik, seseorang tidak mungkin mencuri dalam keadaan beriman. Jika mencuri merupakan suatu tindakan mengambil sesuatu yang bukan miliknya, maka korupsi dapat masuk ke dalam kategori tindak pencurian. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa seorang koruptor tidak mungkin melakukan korupsi dalam keadaan beriman. "Dalam kerangka seperti itulah buku berjudul Koruptor itu Kafir ini diterbitkan," pungkasnya.
Untuk mengingatkan, sejak Juli 2000 silam, Majelis Ulama Indonesia sudah mengeluarkan fatwa bahwa korupsi itu haram. Dalam keputusan yang ditandatangani Ketua dan Sekretaris MUI -yang saat itu masing-masing dijabat Sahal Mahfudh dan Din Syamsuddin- ditegaskan bahwa memberi dan menerima uang korupsi haram hukumnya.
sumber : Hukum Online.com